Awan, Hujan dan Pelangi ( Salma Aditya )
Awan,
Putih dan suci
Gulungan aurora yang kadang menemani
Ada yang lebih aku ingini
Yaitu, hujan di sore hari.
Hujan,
Lamat-lamat kurasakan aromamu
Yang menusuk-nusuk sendi dan nadiku
Tetes demi tetes kujejakkan bersamamu
Tapi, bukankah kau tak lengkap jika tak ada busur indah itu
Dia, pelangi.
Pelangi,
Lalu apa yang ku ingini darimu?
Suatu bias keindahan, bukan?
Rangkaian penantian dan memori kebahagiaan
Yang selalu sempurna dimata insan
Bolehkah aku merangkumkannya
Menjadi, cinta.
Awan, hujan, dan pelangi
Kau tak ada bandingnya
Jika bersanding dengan dia
Gadis pemikat hati, Ashilla.
~Gabriel Stevent~
*
“Awan, hujan, dan pelangi” aku mengerjapkan mataku lemas. Seluruh tubuhku terasa lelah setelah menyelesaikan tugas menggambar peta Benua Eropa dari Pak Duta.
“Awan, hujan, dan pelangi” sekali lagi aku mengucapkan kata itu. Kata yang aku anggap sebagai kata sakral dalam perjalanan hidupku. Istimewa.
Aku membuka pelan lembaran demi lembaran album foto hadiah ulang tahunku dua tahun silam tepatnya saat aku berusia lima belas tahun. Setelah kepergiannya semuanya masih sama tak ada yang berbeda.
Semuanya ada. Dalam album foto bersampul merah itu. Semuanya ada. Aku dan dia.
Seseorang mencolek pinggangku dari belakang. Aku tersenyum simpul menanggapinya. Aku tau, benar-benar tau siapa orang itu. Dia Ify sahabat terbaikku. Mencolek pinggang adalah kebiasaan buruknya saat mengunjungiku. Aku dan Ify bertemu di pemakaman tujuh bulan yang lalu. Dia menenangkanku dan memelukku sayang. Aku merasa nyaman. Tapi tak sepenuhnya.
“Dua tahun yang lalu aku sangat merasa kehilangan sosok yang istimewa dalam hidupku” lirihku pelan. Ify mengusap pelan puncak kepalaku.
“Dua tahun yang lalu, di pemakaman itu, aku bertemu dengan sosok gadis cengeng yang bisanya hanya menangis pilu” aku membalikkan badan dan mendapati Ify sedang menatapku usil dan kubalas dengan tatapan tajam mematikan. Hhh, menyebalkan.
Aku mengedikkan bahuku. Dahiku berkerut. Pipiku yang tembam kugelembungkan kecil. Hidung bangirku pun nyaris memerah jika aku tak menghindar dari tangan usil Ify. Setidaknya, hariku tak lagi suram dan abu-abu semenjak kehadirannya.
“Awan, hujan, dan pelangi. Terimakasih hariku bisa seperti ini lagi”
*
Langkahku terhenti didepan rumah bernuansa Eropa bercat hijau tosca. Dulu, dua tahun yang lalu aku dan dia sama-sama menatap awan. Jika mendung, aku dan dia sama-sama menunggu hujan. Dan pelangi setelahnya. Aku merindukannya.
Dulu, dua tahun yang lalu. Aku selalu menjulurkan lidah mengejeknya jika dia tak mampu menjawab teka-tekiku.
“Aku selalu mengalah dengan orang yang menyayangiku” begitulah katanya. Sejak saat itu, sejak aku mulai mengenal apa itu cinta hariku semakin indah. Tapi sekarang berbeda. Dia pergi untuk selamanya.
Tanganku bergetar, aku tak dapat menahan aliran sungai kecil itu. Airmataku jatuh perlahan mengingat kejadian dua tahun lalu. Ketika aku mulai terbawa arus bahagia dan tak ku anggap semu tapi semua itu menyakitkanku. Dia pergi secepat itu.
Cepat-cepat aku pergi melewati rumahnya. Aku menelusuri jalanan sepi di kompleks perumahanku ini. Rumahku dan rumahnya hanya berjarak lima ratus meter jadi wajar saja jika setiap kali aku berangkat ke sekolah harus merasakan pilu lagi. Tuhan, cepat hapus dia dari fikiranku. Aku tak mau terus-terusan berada dalam lingkaran menyedihkan ini.
“Shilla!” detakan jantungku terhenti spontan. Jari-jariku gemetaran. Sementara darahku berdesir tak sesuai aliran. Suara itu, suara yang sering memanggilku ketika berangkat sekolah sebelum kejadian dua tahun silam. Aku membalikkan badan dengan hati-hati. Perasaanku kini bercampur aduk, antara takut itu hanya bayangan saja dan bahagia jika itu adalah benar-benar dirinya.
“Shilla, jangan menangis lagi”
“Yel, aku mohon jangan kunjungi aku jika akhirnya kau akan pergi lagi”
“Shilla, aku mencintaimu”
“Gabriel! Hentikan aku mohon hentikan!”
“Aku juga mencintaimu” bibirku kelu. Badanku terasa kaku. Kenapa kejadian ini harus terulang lagi. Sebenarnya, tak ada perasaan takut yang menghinggapiku saat bayangan sosok Gabriel yang telah meninggal dunia datang lagi menyatakan cinta untuk yang kesekian kalinya.
Hanya saja aku benci suatu pengharapan semu seperti ini. Aku dan dia sama-sama mencintai namun jika tak dapat bersama. Sama halnya dengan penekanan batin dan fikiran. Itu saja.
Sesaat keadaan menjadi hening. Tak ada suara Gabriel lagi yang selalu menyebut namaku. Yang terdengar hanya detakan jantungku dan hembusan angin pagi yang membawaku hanyut dalam lingkup kegelisahan yang selalu menyergapku.
Aku melirik ke jam tangan berwarna biru yang bertengger manis di lengan kiriku. Astaga! Pukul 06.45 WIB. Sementara jam masuk sekolah tepat pukul 07.00 WIB dan aku masih mematung tak bergerak di depan rumah Almarhum Gabriel. Gila.
*
Hoshh hoshh hoshh
Begitulah kira-kira sentakan nafasku setelah berlari kecil sejauh tujuh ratus meter. Sekarang, aku sudah berada tepat didepan gerbang Vourer High School tempatku menimba ilmu tepat pukul 07.07 WIB. Aku masih mengatur nafas dengan susah payah sambil memegangi kedua lututku. Sementara, di hadapanku sudah berdiri Pak Dirga, guru BK yang selalu terlihat sangar dengan kumis hitam beruban yang naik turun. Mengerikan.
Mataku menilik kekanan dan kekiri berharap akan ada suatu keajaiban yang menolongku lepas dari hukuman guru killer satu ini. Putus asa dengan menengok sana sini, aku memutuskan melihat gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Aku memainkan otak kananku dengan serapi-rapinya agar aku bisa lepas dari hukuman Pak Dirga.
“Permisi, Pak” Telingaku dapat menangkap jelas suara baritone itu. Suara yang lewat disamping kananku membuat bulu kudukku meremang. Aku menoleh kasar ke arah dimana suara tersebut terdengar. Mataku mendelik tajam. Pak Dirga meloloskan pemuda itu yang jelas-jelas terlambat sembilan menit dariku dan enam belas menit waktu sekolah? Astaga, apa itu tidak menyebalkan?!
Aku mendengus halus. Takut terdengar oleh telinga yang berpendengaran infrasonik milik Pak Dirga. Aku menghirup lamat-lamat udara pagi yang mencekat. Hari ini. Ada. Ulangan kimia. OHMY!!!
“Pak, plis pak izinin saya masuk ya,Pak” pintaku terdengar memelas agar bisa masuk dengan cepat. Sementara Pak Dirga masih berdiri tegap dan menatapku seakan-akan ingin memakan manusia mentah-mentah. Aku melengos pasrah.
*
“Yah, Fy, masa ngga bisa sih?” tanyaku dengan nada sedikit kecewa. Hari ini aku ditugaskan untuk menjaga perpustakaan menggantikan Dea yang sedang izin ke luar kota sekaligus sebagai hukuman dari Bu Winda karena telat masuk kelas. Ify mengangguk pasti tanpa menatapku tangannya masih berkutat memegang sebuah bolpoin hitam yang ia coretkan diatas kertas. Hhh! Punya sahabat tapi sibuk banget.
Aku memilih meninggalkan Ify sendirian didalam kelas. Lebih baik, daripada harus mendapat omelan ketiga kali dihari ini. Hihh, amit-amit.
Aku menyusuri koridor yang emm bisa dikatakan lumayan lengang. Mungkin, siswa yang lainnya lebih memilih menghabiskan waktu di kantin atau di taman sekolah.
“Awan, hujan, dan pelangi. Nasibku mengenaskan sekali” gumamku pelan nyaris tak terdengar.
*
Kuhirup lamat-lamat udara menyesakkan yang terhimpit oleh hembusan debu kecil dari buku lama di lemari berpernis coklat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan membersihkan buku yang seabreg ini dalam waktu 15 menit. Untung saja ada Sivia yang sukarela menjaga perpustakaan karena alasan kasihan kepadaku.
Mataku tertumpuk pada susunan buku Sains yang tertata rapi namun penuh dengan debu-debu tipis. Disana, ada satu hal yang menarik perhatianku. Tulisan namanya.
“Gabriel Stevent Damanik” lirihku sambil mengeja tulisan yang ada disampul buku tersebut. Ini semua apa? Bukankah Gabriel telah merasakan kehilangan denyut nadi tujuh bulan yang lalu saat kami sama-sama berumur lima belas tahun. Dan saat itu kami sama-sama mengenakan seragam putih biru. Tapi, sekarang?. Ah, sudahlah mungkin bukan Gabriel Stevent Damanik yang menjadi objek pemikiranku.
Hatiku sesak. Otakku seakan-akan kembali memutar memori pagi tadi. Aku harus melupakannya. Walaupun, aku mencintainya. Itu tekad yang harus kupenuhi. Aku mengalihkan pandanganku yang kabur karena terpenuhi oleh cairan kristal sialan itu. Usahaku sia-sia. Semua tentangnya memang tak bisa sepenuhnya dilupakan. Namun, masa lalu itu bisa menjadi kenangan, bukan?
“Awan, hujan dan pelangi. Dia sudah mati” Aku mendongakkan kepala perlahan. Suara itu, siapa yang menyebutkan tiga hal indah itu. Kenapa dia tau?!
Aku membalikkan badan dan mendapati seorang pemuda berseragam putih dengan paduan biru muda yang merupakan seragam resmi Vourer High School. Tubuh jakungnya dengan kulit khas Indonesia membuatku merasakan dejavu akut. Ditambah lagi dengan senyum tipis terkesan miring yang ditujukannya.
Pemuda itu berdiri dengan tenang dan menggenggam lebih erat Blazer biru muda yang khas sekolahku yang ia sampirkan di pundaknya. Aku mengerutkan kening dan mencoba tersenyum biasa. Ah, sepertinya aku pernah melihat dia, berontakku dalam hati.
“Permisi” ucapnya pelan. Kali ini senyum yang aku sunggingkan benar-benar bermakna. Tak lagi terpaksa. Dia menaikkan alisnya sambil mengacak-acak harajuku stylenya. Ck! Sangat tidak disiplin. Bukannya di sekolah ini sudah ada peraturan jika siswa laki-laki harus memiliki potongan rambut sesuai tata tertib?
Aku masih tak bergumam. Mataku masih menelusuri siluet yang –terlihat tak asing bagiku.
“Mario Aditya, panggil aja Rio” Aku masih menatap ragu tangannya yang terulur di hadapanku.
“Hey, kamu kenapa, Ashilla?”
“Hah? Engga apa-apa!” Ucapku spontan “Kamu, kenal aku?” tanyaku gugup. Dia terkekeh pelan sambil menunjuk nametag-ku. Aku langsung menepis tangannya kasar. Enak saja main tunjuk-tunjuk. Apalagi nametag-ku berada di ah entahlah.
“Shillaaaa! Hua sori baru bisa nyusul” Aku mendengus pelan. Ify, please kalem dikit. Hhh.
Pemuda itu. Rio. Menatap kami berdua –aku dan Ify dengan pandangan aneh. Mungkin dia menganggap kami gila. Ya, terserah. Yang penting aku bisa menemukan hidup yang sebenarnya walau tak sepenuhnya.
Ify menyenggol siku tanganku. Ia mengangkat dagu tirusnya ke arah pemuda tersebut seolah bertanya ‘Siapa dia?’ dan aku jawab dengan angkatan bahu. Aku baru saja mengenal pemuda itu. Hanya namanya. Tak tau siapa sebenarnya.
“Shillaaa! Oh My God, diaaaa” teriak Ify yang melengking nyaring di telingaku. Aku mendengus untuk kedua kalinya dalam waktu yang berdekatan karena orang yang sama. Ify. Aku menatapnya jengkel, sambil melirik sedikit ke arah Rio yang menunjukkan ekspresi naturalnya. Kaget. Dan mengusap-usap indra pendengarannya.
“Diaaa” Ucap Ify sambil menunjuk nametag milik Rio. Mataku ikut melirik ke arah dimana tangan Ify menunjuk. Aku terpekik kaget. Berteriak spontan. Nyaris melengking seperti Ify barusan.
Dengan cepat Rio ikut melihat nametag-nya heran. Satu detik, dua detik, tiga detik, dia menepuk jidatnya. Seperti orang frustasi. Wajahnya merah padam.
Buru-buru Rio keluar dari perpustakaan dengan langkah tergopoh-gopoh. Sementara aku dan Ify masih mematung ditempat. Di depan lemari berpernis cokelat dengan hiasan mengenaskan yang menyantumkan nama masa lalu.....yang telah mati.
*
Minggu pagi yang berawan. Kini, aku dan Ify sudah berada di depan kediaman keluarga Haling. Fikiranku buyar karena kejadian kemarin siang di dalam perpustakaan. Kami sengaja datang diam-diam karena menurut cerita dari Sivia –yang rela membantuku. Rio, adalah si bungsu dari kedua Suami-Istri sukses tersebut.
Aku merasakan seseorang mencolek pinggangku dari belakang. Aku melengos sebal. Ingin memarahi Ify. Namun, ku urungkan niatku saat melihat Ify ternyata ada di samping kananku. Dengan cepat dan perasaan takut aku membalikkan badan. Dan.....
“Hay, gadis langit. Ngapain disini, kalau kangen sama aku bilang dong” Aku membungkam mulutku. Rio kini dihadapanku. Astaga, Shilla bodoh.
“Kk..aamu beneran bungsu dari keluarga Haling?” Tanyaku ragu sambil sesekali melirik Ify yang sama tegangnya seperti aku. Rio terkekeh pelan.
“Iya, aku kembar”
“Sama Gabriel?” celetuk Ify mendahuluiku. Rio tersenyum pahit. Anggukan kepalanya mungkin sudah cukup menjadi isyarat jawaban pertanyaan.
“Yakin?” tanya Ify lagi. Aku melihat Rio menarik panjang nafasnya.
“Iya, bukan kembar identik. Dan sayangnya ketidak identikan itu yang membuatku masih bertahan hidup sampai sekarang. Hidupku tak sekronis Gabriel” lirihnya pelan “Ngga mirip ya, sampai-sampai cuma keluarga sama orang terdekat aja yang tau kalau nama belakangku juga pakai marga Haling” Ucapnya sambil tertawa kecil mencoba menutupi kepiluannya.
Aku meneguk ludah. Lamat-lamat aku merasakan hanyut dalam kenangan itu lagi. Gabriel. Ify mengelus rambutku pelan. Sambil sesekali berbisik pelan nyaris tak terdengar ‘Jangan nangis disini’. Aku mengangguk lemah.
“Ada perlu apa kesini?” Tanyanya kemudian. Aku terkesiap dan membenahi air mukaku menjadi lebih tenang. Lagi-lagi dia tersenyum tipis dan....sangat manis.
“Engga kok, by the way aku pulang dulu yah, udah sore banget” Rio mengangguk pelan. Sebelum aku pergi, dia mencekal tanganku dan meminta nomor handphone.
*
Kini, aku dan Rio tengah berada di lapangan futsal tempatnya biasa menghabiskan kejenuhan. Aku tau betul, pasti saudara kembar memiliki kesamaan. Tak terkecuali, Rio dan Gabriel yang sama-sama menyukai futsal. Dan tempat latihan yang sama juga.
Rio menghampiriku dengan pasti. Aku tersenyum manis. Semalam Rio menelfonku menyuruhku menemaninya bermain futsal di lapangan tempat biasanya aku dan Gabriel dulu menangkap bola dan melemparkan ke kepala. Hhh.
“Lama, ya?” tanya Rio. Aku menggeleng pelan sambil menyodorkan sebotol air mineral kepadanya. Aku tak lagi merasa sungkan untuk dekat dengan Rio.
“Thanks. Kabar hati kamu buat Gabriel gimana?” tanya Rio yang berhasil membuat pipiku memanas. Aku tersenyum simpul dan menjawab bahwa aku masih menyimpan rasa yang tak pernah mati. Masih ada.
Rio menanggapinya dengan rileks. Anggukan kepalanya membuat sisa-sisa buliran keringatnya perlahan menetes satu persatu dan dia...sangat tampan.
Ah, aku menepis jauh-jauh fikiranku dari sebuah hal tabu bernamakan cinta. Aku tak mau lagi mengenalinya. Kecuali untuk Gabrie. Mungkin.
Sesaat keadaan menjadi hening. Tak ada lagi yang bercerita. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di kursi. Pandanganku kosong. Sementara fikiranku masih mengilas balikan pada kejadian dua hari yang lalu saat Rio tiba-tiba mengucapkan kalimat itu. Ah, ya aku hampir lupa. Darimana, dia bisa mengetahui kalimat itu?
“Ehm”
“Kenapa, Shill?”
“Ngomong-ngomong kalimat itu, kamu tau darimana?” Tanyaku nekat. Rio tersenyum getir. Ahh, dia selalu saja tersenyum yang bisa-bisa membuatku terkena penyakit diabetes.
“Aku nggak sengaja baca puisi Gabriel di album fotonya dan aku yakin banget kalau Ashilla itu kamu. Dan, see! Ternyata aku punya radar neptunus haha” Rio tergelak sementara aku melongo.
“Oh begitu. Zodiak kamu aquarius?” tanyaku. Rio menggeleng cepat sambil menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.
“Scorpio hehe” cengirnya bebas. Aku mencibir pelan takut ketahuan. Huh, sok-sokan mau jadi agen neptunus kalau zodiaknya saja tak ada sangkut pautnya dengan air.
“Awan, pelangi, dan hujan. Sepertinya aku tidak salah lagi. Aku mencintainya. Seorang yang duduk tenang disampingku”
*
Aku membolak-balikan badanku resah. Ucapan Rio tadi sore membuatku gelisah. Maksudnya apa?
Aku mencoba melelapkan mataku dan mengelilingi alam bawah sadar yang sama sekali tak ada hubungannya dengan dunia. Tapi, nihil, aku tetap memikirkan ucapan Rio di lapangan Futsal sebelum kami benar-benar beranjak dari sana.
“Shilla, dia penggantiku. Terimakasih untuk ketulusan hatimu selama ini. Aku pergi” Dadaku nyaris sesak. Sementara jantungku seperti sudah tak sanggup memompa darah yang mulai membeku. Bibirku bergetar. Tanpa sadar, airmata itu kembali melimpah ruah menggenangi sungai kecil di pipiku. Suara itu milik Gabriel.
“Shill?” Aku mendongak dan mendapati Ify dengan raut wajah yang tak seperti biasanya. Dia terlihat sangat bahagia. Aku menaikkan alis seakan mewakili pertanyaanku ‘Kenapa?’. Ify mengulum senyum manisnya. Ditangannya ia menyembunyikan sesuatu yang sepertinya dirahasiakan.
“Itu apa?” Tanyaku sejurus kemudian.
“Taraaaaaa..” Ify mengeluarkan sebuah kertas berwarna biru tosca. Aku mengerutkan kening. Apa istimewanya?
“Dari Alvin nih. Dia tadi nembak aku dorr” Ucap Ify lalu diikuti dengan tawa renyah. Aku mencubit genit pinggangnya.
Wajar saja, Ify telah lama mengidamkan Alvin yang adalah seorang most wanted di Vourer High School. Dengan sikap cueknya membuat Ify menyerah dan mundur. Namun, setelah satu minggu, Alvin mendekati Ify. Yah, aku iri. Kapan Gabriel kembali dengan nyawa yang utuh?
Ify mengerling ke arahku. Dia mencoba menerawang wajahku dengan jari-jari yang dibentuk kotak. Aku melengos sebal. Mulai lagi.
“Ehm, kayaknya si Rio Rio itu jatuh cinta sama kamu” Ucap Ify tiba-tiba. Aku tersedak dan menaruh kembali gelas berisikan latte yang hendak aku minum. Aku mengerutkan kening heran.
“Sure?” Tanyaku kemudian. Aku kembali mengingat kejadian yang ingin sekali aku anggap biasa saja.
“Tadi dia ngomong gini ‘Sepertinya aku tidak salah lagi. Aku mencintainya. Seorang yang duduk tenang disampingku’ gitu. Gimana?” ucapku tanpa menambahi kalimat Awan, Hujan, dan Pelangi.
“Berarti dia cinta” Jawab Ify spontan. Sontak aku langsung memanyunkan bibir kecil. Ini kebiasaan burukku saat mendengar Ify berbicara sambil berteriak.
“Awan, Hujan dan Pelangi. Rasa ini benar-benar magis dan tak patut berposisi”
*
Hari ini hari Senin. Tepat sekali pelajar sepertiku menyebutnya MonDay is MonsterDay. Tapi aku sama sekali tak mempersalahkan itu semua. Setidaknya, selama hari Senin aku tak mendapat hukuman.
Aku berjalan cepat menuju halaman depan. Disana sudah ada Rio yang menungguku selama 15 menit.
“Lama, Shill” Teriaknya dari dalam mobil. Aku semakin mempercepat langkahku. Tak mau merepotkan.
Saat jarakku sudah berada di sepuluh meter darinya ada kejanggalan yang sering aku rasakan. Tapi, tidak mungkin itu Gabriel. Dia sudah benar-benar pergi.
“Shill, cepetan. Keong banget sih” Omel Rio kemudian. Astaga, aku baru tau jika ternyata Rio adalah seorang cowok bawel yang sok misterius.
Aku berhenti di depan pintu mobil yang telah dibukakan manis oleh Rio. Ku selipkan anak rambutku yang agak basah karena keringat dingin. Entah karena apa, karena perasaan janggal tadi atau karena perlakuan Rio yang terkadang membuatku nyaman disampingnya.
Setelah itu, tak ada lagi suara. Sejenak hening, setelah aku menghempaskan tubuh dalam jok mobilnya. Aku melirik Rio pelan. Takut tertangkap basah. Rio tersenyum tipis. Tangannya bergerak di tape mobilnya.
“Sepi ya?” Tanyanya. Aku mengangguk pasti. “Mau nggak denger lagu favorit aku?” Untuk kedua kalinya. Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukkan. Rio menggerakkan tangannya di tape mobilnya. Sementara aku memilih mengedarkan pandangan ke luar jendela.
Betapa aku mencintaimu
Lebih dari yang kau tau
Betapa aku menyayangimu
Dengan sepenuh hatiku
Inginku bahagiakan dirimu
setiap saat bersamaku
Seperti janjiku kepadamu
takkan pernah ku ingkari
Aku menaikkan alis heran. Jadi, ini lagu favoritnya.
“Bagus ya, Shill” Ungkapnya bangga sambil mengetuk-ngetuk setir mobilnya. Bentuk busur indahpun tak luput dari bibirku.
“Aku kan slalu ada di dekatmu. Aku kan slalu menemani harimu. Kau harus tau betapa aku mencintaimu” Begitulah kira-kira bagian yang Rio nyanyikan. Suaranya merdu. Semerdu suara hatiku yang mengikuti irama lagu dan suasana bersamanya. Ah, entahlah aku cinta kah kepada pemuda disampingku ini?
*
“Shillaaaaa” Aku membalikkan badan pelan dan mendapati Sivia tengah melipat kedua tangan di perutnya. Bibirnya ia kerucutkan kecil. Aku terkekeh melihat tingkahnya. Hampir seperti Ify. Sayangnya, Sivia lebih cerewet dibanding Ify.
“Iya, kenapa Vi?”
“Rio, suka sama kamu Shilla” Sontak seluruh aliran darahku terasa membeku dan mengalir lambat. Jantungku berdegup tak sewajarnya.
“Semalam dia curhat sama aku. Katanya, dia udah lama merhatiin kamu sejak kematian Gabriel. Dan dia jatuh cinta sama gadis langit katanya”
“Tapi, aku dan dia baru kenal kemarin, kan?”
“Karena dia misterius” Ucap Sivia sok mendramalisir keadaan. Dan berhasil melayangkan sebuah jitakan kecil dariku yang mendarat mulus di kepalanya.
“Entahlah, Vi. Awan, hujan, dan pelangi ngga pernah ngasih isyarat ke aku”
*
Kakiku berjingkat di antara celah jendela. Mataku menelusuri ruangan laboratorium biologi yang selalu menjadi tempat Rio menghabiskan jam istirahatnya.
Kosong. Yang ada hanya alat-alat penelitian seperti mikroskop dan sebagainya. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Seperti orang bodoh.
“Ehm” Sesaat kemudian sebelum aku benar-benar meninggalkan Lab. Biologi tersebut tertangkap sebuah suara deheman yang mampu membuat bulu kudukku meremang.
“Cari siapa? Aku?”
“Hah? Bukan kok” Jawabku gugup. Iya, dia Rio. Dia terkekeh pelan melihatku. Lucu kah?
“Jangan bohong. Mata ngga bisa bohong. Sekalipun kamu bilang engga tapi mata menjawab iya, kamu bisa apa?” Skak mat bagiku “Lagipula, aku juga dari kelasmu kok. Nyariin kamu” ungkapnya jujur. Mungkin.
“Aku? Kenapa?”
“Kamu...istimewa. Semua yang ada dalam dirimu aku menyukainya. Aku jatuh cinta pada gadis langit. Kau mau melantikku sebagai pangeranmu?” Bungkam. Sepi. Sunyi. Tak ada lagi yang dapat aku dengar selain kata indah itu. Kata yang melebihi indahnya Awan, Hujan, dan Pelangi. Kata yang mampu membuat tubuhku membumbung tinggi bak kapas-kapas putih. Melintas dilangit nun jauh bak harmoni.
“Ashilla?” Tanyanya sambil melambaikan tangannya tepat di depan wajahku. Aku terpelonjak kaget menyadarinya. Kini, fikiranku kembali memutar kejadian pagi tadi. Lagu itu.........
“Kamu mau?”
Hatiku berontak. Seakan ada dogam palu seberat berpuluh-puluh kilogram menimpanya. Aku juga mencintai Rio. Disisi lain, dia adalah saudara kembar seorang yang pernah aku cintai. Pernah dan tidak lagi setelah kehadiran seorang pangeran yang belum resmi terlantik.
“I..i..ya Yo”
Spontan dia memelukku sayang. Terlihat jelas euphoria di siluet tampannya. Bahkan, nafasnya yang tersengalpun aku dapat mendengar jelas.
“Maaf, aku lancang mencintaimu. Maaf, jika aku terlalu sering memperhatikanmu. Dan, izinkan aku menjaga dan mengembalikan harimu yang pernah mati”
“Iya”
“Awan, Hujan, dan Pelangi. Aku mencintai sosok indah dihadapanku” Ucap kami bersamaan dan disusul oleh gelak tawa yang lenyap karena sebuah suara.
“Awan, Hujan, dan Pelangi. Semoga kalian bahagia tanpa adanya aku. Rio, terimakasih. Jaga gadis langit itu. Jangan biarkan dia menangisiku”
-The End-
0 komentar:
Posting Komentar