RSS

One Shot: Rp500,00?! *&^%$#@!~ (Project Cerpen #YSF2ndAnniversary)

One Shot: Rp500,00?! *&^%$#@!~ ( Medina Novi )

“Hei, awas!”

Shilla terkesiap, tapi tidak bergerak satu inchi pun. Pasrah, Shilla menutup mata sambil mencengkeram pegangan troli belanjaan sampai buku-buku jarinya memutih.
         
BRAK!
        
“Aaaaa!” Shilla berteriak, padahal kotak puding instan itu tidak menggores kulit mulusnya sesenti pun. Well, hanya sedikit ‘menyerempet’ kepalanya.

Perlahan mata Shilla mengerjap-ngerjap, lalu menatap seorang cowok yang tadi meneriakinya dengan pandangan garang. “Kenapa lo nggak bantuin gue sih? Dorong gue kek, tarik kek, yang penting kepala gue nggak kena tuh kotak puding. Lo kira nggak sakit apa?” Shilla mengusap-usap kepalanya sambil menggumam tidak jelas.
 
Cowok yang ternyata memakai seragam pramuniaga itu nyengir. “Hehe, maaf. Aku pikir kamu bakal menghindar setelah aku peringatkan.”

Shilla melongo. Hare gene, bahasanya masih semiformal gitu? Please, deh! Mengabaikan cowok itu, Shilla meneliti daftar belanja yang sudah dipersiapkan Mama. Mama sedang repot mengurus ini-itu karena mereka baru saja pindah rumah. Jadi terpaksa Shilla menjadi dewi penolong untuk Mama—berbelanja berbagai macam kebutuhan untuk mengadakan syukuran rumah baru. Itu pun karena sudah dipaksa ratusan kali oleh Mama.
         

“Ayo dong, Shill. Kamu nggak kasian liat Mama repot ngurusin segala macem tetek bengek bla bla bla mweh mweh...” Entah kenapa tiba-tiba suara Mama terdengar begitu aneh di telinga Shilla.
         
Okay, okay! Tell me what should I buy?” Shilla mengangkat tangan, menyerah.
         
Mama semringah, lalu menyerahkan daftar belanja ke tangan putri sulungnya. “Nanti puding bagian kamu Mama banyakin deh.”
        
“Vla bagian Shanin sebagian buat aku, ya, Ma?” rayu Shilla.
         
“Eh, nggak bisa gitu dong! Maruk lo, Shill!” Shanin menyeruak di tengah-tengah mama dan kakaknya. “Ma, kok gitu, sih? Kalo gitu mendingan aku yang ke supermarket!”
         
“Nggak bisa gitu. Pokoknya gue yang ke supermarket, gue yang dapet puding banyak, weee!” Shilla menjulurkan lidahnya.
         
Shanin melakukan hal yang sama. “Ma, Shilla tuh,” rajuknya manja.
         
“Kakak,” koreksi Mama.
         
“Iya, iya. Kak Shilla.” Buru-buru Shanin meralat, memendam rasa dongkolnya dalam-dalam.
       
“Ya udah deh, Ma. Aku berangkat dulu, ya. Doain anakmu yang paling cantik ini selamat sampai tujuan. Daaah!”
         
“Aduuuuhhh!” Kali ini Shilla mengusap perutnya yang menjadi korban tabrakan beruntun antara tiang penyangga supermarket-troli belanjaan-perut. “Kok hari ini gue sial banget, sih?!”

***

“Kembaliannya Rp23.700,00, ya. Terima kasih,” Rio menyunggingkan senyum manisnya pada pelanggan yang sekarang sudah berjalan keluar supermarket. Tanpa banyak bicara, Rio segera menghitung belanjaan yang sudah dikeluarkan oleh pelanggan selanjutnya.
         
“Lo lagi?” Rio mendongak, menatap siempunya suara. Setelah mengetahui siapa yang ‘menyapanya’, Rio tersenyum lebar.
         
“Gimana kepala kamu? Udah merasa lebih baik?”
         
“Yah, lumayan,” gadis-kotak-puding-instan itu mengeluarkan dompet yang terlihat seperti dompet ibu-ibu, mungkin milik mamanya. “Jadi semuanya berapa?”
         
“Rp253.500,00.”
         
Gadis kotak puding instan mengangguk-angguk. “Hah!” Matanya nyaris mencelat keluar melihat isi dompetnya, lalu mengeluarkan sejumlah uang yang ada di sana.
         
Di meja kasir sekarang berderet uang pecahan, mulai dari lima ribuan sampai dua puluh ribuan. Dan seakan belum cukup, masih banyak uang logam di dalam dompet ‘keramat’ itu. Karena terlalu terburu-buru menahan malu, uang logam itu berceceran di lantai, menimbulkan bunyi gemerincing. Berisik.
         
“Aduh!” keluh gadis kotak puding instan, setengah panik, setengah malu. Buru-buru dikumpulkannya uang logam yang berceceran, dibantu Rio. Untung saja pelanggan di kasir Rio hanya si gadis, jadi mereka tidak perlu diprotes pelanggan yang tidak mau menunggu lama.
       
“Makanya kamu hati-hati dong. Nggak perlu salting seperti itu kalau mau ketemu cowok seganteng aku.”
        
Gadis kotak puding instan mencibir. “Bantuin gue ngitung, ya.” Lalu dia menundukkan kepalanya dalam-dalam, berusaha fokus menghitung. “Nih, yang di gue udah Rp183.000,00. Yang di lo berapa?”
         
“Pas Rp70.000,00.”
         
Otak Rio bekerja dengan cepat, menjumlahkan angka-angka yang sudah disebutkan. Sepertinya gadis itu juga ikut menghitung. Tiga detik kemudian, wajahnya pias.
         
“Kalau cuma kurang lima ratus nggak apa-apa kok. Kamu bawa aja belanjaannya.”
         
“Tapi... tapi...”
         
“Nggak apa-apa. Kamu bawa aja,” Rio menyodorkan dua kantong plastik besar yang berisi belanjaan-belanjaan si gadis.
         
“Ntar lo dimarahin bos lo...”
         
“Nggak mungkin. Aku yang tanggung jawab,” Rio tersenyum, menenangkan. “Rumah kamu di mana? Kamu jalan kaki?”
         
“Iya. No problem. Rumah gue deket kok. Anyway, thanks, ya...” gadis kotak
puding instan beranjak, tapi sedetik kemudian kembali menatap Rio. “Oh iya, gue bukannya nggak mau bayar. Tapi lo liat sendiri, kan, tadi uang recehnya kececer gitu? Siapa tau ada yang keselip dan nggak ketemu. Gue bukannya nggak punya uang, lho...”
         
Rio tergelak. “Kamu itu masih ngerti bahasa Indonesia, kan? Kan tadi aku udah bilang nggak apa-apa. Kamu nggak usah malu-malu seperti itu.” Tapi gadis kotak puding instan itu sudah berlalu.

***

“Shillaaaaaaaaaa!” Shanin menggedor-gedor pintu kamar Shilla dengan heboh.
         
Di dalam kamar, Shilla masih meringkuk di bawah selimut tebalnya. Terganggu dengan teriakan Shanin, Shilla meraih bantal lalu menekannya kuat-kuat ke arah telinga.
         
“Shillaaaaaaaaaaa!”
         
Shilla masih bergeming.
         
“Ma, Shilla nggak mau bangun tuh.” Terdengar teriakan Shanin dari luar kamar, kali ini mengadu pada Mama.
        
Alright, I’m awake!” Shilla menguap lebar-lebar. Dengan mata setengah tertutup, Shilla membuka pintu kamarnya. “Ada apa, sih?” tanyanya lalu duduk di tempat tidur, memulai ritual ‘pengumpulan nyawa’.
         
“Ini tuh udah terang banget, Shilla. Udah jam sepuluh. Sekali-sekali bangun pagi kenapa, sih?” Shanin mematikan AC kamar Shilla lalu membuka gorden kamar. Sinar matahari langsung menembus masuk.
         
“Ini tuh hari Sabtu, Shanin.” Sambil mengerjap-ngerjapkan mata karena silau, Shilla menirukan nada bicara Shanin. “Nggak ada pasal di Undang-Undang Dasar yang nyuruh warga negara bangun pagi di hari libur.”
         
Shanin mencibir. “Buruan lo sikat gigi sama cuci muka. Disuruh Mama nganterin carrot cake ke rumah Tante Amanda tuh.”
        
“Tante Amanda siapa?”
        
“Tetangga sebelah rumah kita,” Shanin duduk di kursi belajar Shilla. “Oh iya, katanya Tante Amanda punya anak cowok ganteng yang baru pulang dari London lho, Shill.”
        
Shilla hanya mengangguk paham, tidak merasa kagum sama sekali. “Kenapa nggak lo aja?”
         
“Kan lo yang disuruh Mama,” jawab Shanin enteng. “Lagian gue mau les vokal. Udah hampir telat nih gara-gara ngebangunin lo yang kayak kebo. Buruan, ntar Mama marah-marah.” Sang adik beranjak.

***

Rio mengamati wajah gadis yang sekarang berdiri di depan pintu rumahnya sambil menenteng sebuah kantong kresek. Feeling-ku nggak mungkin salah. Dia pasti cewek yang kemaren di supermarket. “Lho, kamu yang kemaren, kan?”
        
“Apa maksud lo dengan ‘yang kemaren’?” tanya si gadis, terdengar gusar.
        
Rio mengulum senyum. “Ayo masuk,” katanya mempersilakan. “Ada perlu apa ke sini?”
        
“Nih, mau nganterin titipan nyokap gue buat Tante Amanda,” si gadis menyerahkan kantong kresek yang dibawanya. Tanpa sengaja Rio melihat isinya, carrot cake.
        
“Nyokap...?”
        
“Mama, maksud gue. Ibu, Bunda, Emak, Enyak, Mami, semacem itu,” gadis kotak puding instan buru-buru memotong. “Lo orang Indonesia bukan, sih? Kok gitu aja nggak ngerti?”
         
Rio nyengir. “Aku baru datang dari London satu minggu yang lalu, makanya bahasa Indonesia-ku masih terdengar kaku,” jelasnya, tanpa bermaksud menyombongkan diri. “Namaku Rio.”
         
Gadis kotak puding instan mengulurkan tangannya. “Shilla,” katanya. “Lo baru sekali ini dateng ke Indonesia?”
         
“Nggak. Aku lahir di Indonesia, sampai umur tiga tahun di sini. Setelah itu aku ikut Oma ke London, dan sekarang baru kembali lagi.”
         
Shilla ber-oh panjang. “Pantesan aksen Indonesia lo kedengeran aneh banget. Sengau, bindeng, yah, sejenis itu lah.”
        
Rio nyengir lagi. “Baru bangun tidur, ya?”
         
Tersadar, Shilla langsung menatap penampilannya sendiri. Masih mengenakan piyama bergambar Doraemon, hanya dibungkus jaket cokelat tua. Rambut diikat seadanya. “Semalem gue begadang nonton Inter Milan,” katanya, nggak penting banget.
         
“Berarti kamu Ileristi?”
         
“Interisti,” koreksi Shilla, sedikit jengkel fansclub bola kesayangannya dihina. “Diliat-liat dari omongan lo tadi, kayaknya lo anak Milanisti, ya?”
        
“Seratus buat kamu!” seru Rio. “Berarti club kita versus-an.”
        
“Lo anaknya Tante Amanda?” Shilla mengalihkan pembicaraan, sebelum pembicaraan mereka berganti menjadi adu mulut antara Interisti dan Milanisti yang memang ‘berselisih’.
        
Rio mengangguk. “Mama lagi pergi, ngumpul sama teman-temannya. Kalo Papa masih di London, mengurus dokumen-dokumenku yang tertinggal di sana.”
         
“Jadi sekarang lo sendirian di rumah?” Ada perubahan ekspresi di wajah Shilla. Biar bagaimanapun, bisa bahaya kalau cowok-cewek berada dalam satu atap hanya berdua. Apalagi cowok ini baru dikenalnya.
         
“Nggak. Berdua sama kamu—” jawab Rio lalu nyengir. Kayaknya cowok ini emang doyan nyengir, deh.
         
Shilla memutuskan untuk pulang secepatnya.
         
“—kalau si Bibi di dapur nggak ikut dihitung.”
         
Shilla menghembuskan napas yang—ternyata—sedari tadi ditahannya.
         
“Kenapa? Kamu takut, ya, sama aku?”
         
“Eh, bukannya gitu...” Shilla merasa tidak enak. “Nggak baik aja kalo cowok sama cewek cuma berdua di rumah. Ini kan Indonesia, Yo, bukan London.”
         
“Aku nggak akan macam-macam sama kamu kok. Trust me,” Rio tersenyum, mengacungkan dua jarinya.
         
Shilla mengangguk. Trust me-nya bule banget, coy! “Oh iya, Yo... ngomong-ngomong soal uang lima ratus yang waktu itu, sori banget gue belum bisa bayar sekarang. Gue nggak bawa uang sama sekali.”
         
Rio melongo. Sedetik kemudian, cowok itu terbahak. “Ya Tuhan, Shilla... aku kan udah bilang, nggak apa-apa. Mama nggak akan marah kalau cuma kurang lima ratus.”
        
Apa katanya? Mama?
        
“Tante Amanda...” Shilla bingung melanjutkan kalimatnya.
        
“Iya. Supermarket itu punya mamaku. Kemaren aku cuma iseng coba menjadi—apa itu namanya?—pramuniaga, ya? Because I have no idea about what should I do. I’m bored. Lama-lama aku bisa berjamur tinggal di rumah terus.”
        
“Lo emang penuh kejutan, ya,” Shilla bergumam pada dirinya sendiri.
         
“Apa?”
         
“Eh, nggak.”
         
“Shill, kamu mau temani aku jalan-jalan keliling Jakarta?”
         
“Sebenernya sih mau, tapi gue nggak bisa nyetir, Yo. Belum boleh sama Nyokap.”
         
“Nggak masalah. Nanti aku yang menyetir, kamu tinggal menunjukkan jalannya. So, mau, kan?”
         
Shilla berpikir sebentar, lalu mengangguk sambil tersenyum. “Oke!”
         
“Kapan kamu ada waktu? Besok, lusa, atau hari ini?”

0 komentar:

Posting Komentar